Rabu, 17 Desember 2014

PENERAPAN WANAMINA (SILVOFISHERY) BERWAWASAN LINGKUNGAN DI PANTAI UTARA KOTA SEMARANG

ABSTRAK
  Kawasan pantai mempunyai fungsi yang sangat penting bagi kehidupan, baik secara ekonomi, sosial
dan lingkungan. Salah satu kawasan yang sangat berpengaruh terhadap kelestarian lingkungan pantai adalah
hutan mangrove, Kondisi hutan mangrove saat ini pada umumnya dalam kondisi rusak berat, sehingga
mengganggu kelestarian lingkungan. Untuk itu upaya yang cocok untuk dikembangkan dalam pelestarian
kawasan pantai adalah wanamina (silvofishery). Wanamina (silvofishery) adalah suatau kegiatan yang
terintegrasi (terpadu) antara budidaya perikanan air payau (perikanan) dengan pengembangan mangrove
(kehutanan) pada lokasi yang sama. Penelitian ini dilakukan di pantai utara kelurahan Mangunharjo,
kecamatan Tugu, kota Semarang. Tujuan penelitian ini ialah untuk mendapatkan hasil Bandeng dengan adanya
tanaman Avicennia, Rhizophora, tanpa tanaman mangrove dengan kultivan Bandeng dengan pakan alami.
Metode penelitian yang digunakan adalah dengan riset lapangan dan pengamatan langsung selama 4 bulan.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan.
Perlakuan yang diterapkan adalah jenis tanaman mangrove Rhizophora, Avicennia dan tanpa tanaman
mangrove. Data yang diperoleh dianalisa dengan balance design analisa varians pada taraf uji 0.05%. Hasil
yang diperoleh menunjukkan bahwa kultivan Bandeng yang di budidayakan di lokasi pada tegakan Rhizophora
memberikan hasil yang terbaik, kemudian diikuti dengan Avicennia dan tanpa tanaman mangrove

Kata kunci: penerapan, Wanamina, dan wawasan lingkungan

PENDAHULUAN

 Pesisir sebagai wilayah peralihan antara daratan dan lautan mempunyai
keanekaragaman sumberdaya yang melimpah. Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi
berbagai organisme yang berada di sekitarnya. Kawasan pesisir terdapat beberapa ekosistem
vital seperti ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun dan ekosistem hutan
mangrove. Ketiga ekosistem tersebut memiliki peranan yang sangat penting bagi organisme
baik di darat maupun di laut. Menurut Supriharyono (2009), bahwa fungsi ekosistem wilayah
pesisir bagi organisme antara lain sebagai daerah pemijahan (spawning ground), daerah
pemeliharaan (nursery ground) dan daerah pencarian makan (feeding ground)
Hutan mangrove merupakan habitat bagi berbagai organisme baik darat maupun laut
(mamalia dan amphibi) seperti kepiting, udang, ikan, monyet dan lain sebagainya. Ekosistem
hutan mangrove memiliki fungsi ekologis, ekonomis dan sosial yang penting dalam
pembangunan, khususnya di wilayah pesisir. Meskipun demikian, kondisi hutan mangrove di
Indonesia terus mengalami kerusakan dan pengurangan luas dengan kecepatan kerusakan
mencapai 530.000 ha/tahun (Anwar, 2006).


METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dan pengamatan langsung, yaitu dengan
melakukan uji coba langsung di lokasi penelitian. Penelitian dilakukan di Kelurahan
Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Penelitian
dilaksanakan selama 4 (empat) bulan. Rancangan penelitian adalah Rancangan Acak
Lengkap dengan tiga perlakuan, yaitu tanaman naungan tambak: Avicennia (x1), Rhizophora
(x2) dan tanpa tanaman mangrove (x3) dengan luas masing-masing 0,5 Ha terhadap hasil
Bandeng (Y). Untuk menegaskan bahwa penerapan wanamina berwawasan lingkungan, maka
persiapan tambak diberi pupuk organik, sedangkan pemberian pakan Bandeng dengan pakan
organik (klekap, lumut). Data hasil Bandeng yang diperoleh dicatat, direkap dan tabulasi
serta dianalisis dengan balance design analisan varians dan diuji statistik dengan taraf uji
0,05 %.

PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai produksi tertinggi ditemukan pada 
perlakuan B, yaitu pemeliharaan benih Bandeng (Chanos chanos) pada tegakan Rhizophora
dengan nilai 155.33 kg/0,5Ha, kemudian diikuti perlakuan A yaitu pemeliharaan benih 
Bandeng (Chanos chanos) pada tegakkan Avicennia dengan nilai rata-rata produksi 129 
kg/0,5Ha dan yang terendah adalah perlakuan C dengan nilai rata-rata produksi 70 kg/0,5Ha
yaitu pemeliharaan Bandeng (Chanos-chanos) pada tambak yang tanpa tanaman mangrove.
Dari hasil yang diperoleh dalam penelitian dapat dilihat bahwa keberadaan hutan 
mangrove dapat mempengaruhi jumlah produksi dari kegiatan budidaya Bandeng yang 
dilakukan. Hal ini diduga sebagai akibat dari peran mangrove itu sendiri yang mempunyai 
fungsi ekologis bagi biota perairan.Menurut hasil penelitian Martosubroto dan Naamin
(1979) dalam Dit. Bina Pesisir (2004) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara 
luasan kawasan mangrove dengan produksi perikanan budidaya. Semakin meningkatnya 
luasan kawasan mangrove maka produksi perikanan pun turut meningkat dengan membentuk 
persamaan Y = 0,06 + 0,15 X; Y merupakan produksi tangkapan dalam ton/th, sedangkan X 
merupakan luasan mangrove dalam Ha.

KESIMPULAN
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan kesimpulan sebagai 
berikut: Kultivan Bandeng (Chanos-chanos) dibudidayakan pada tambak yang terdapat 
tanaman Rhizopora dengan makanan organik menghasikan Bandeng yang paling baik yaitu
dengan berat 155,33 kg/0,5 Ha. Kultivan Bandeng (Chanos-chanos) dibudidayakan pada 
tambak yang terdapat tanaman Avicenia dengan makanan organik menghasilkan Bandeng
dengan berat 129 kg/0,5 Ha. Kultivan Bandeng yang dibudidayakan tanpa adanya tanaman 
mangrove dengan makanan organik memberikan hasil yang paling rendah yaitu 70 kg/0,5 Ha, 
dengan ukuran Bandeng lebih kecil dibandingkan dengan adanya tanaman Rhizopora dan 
Avicenia.

Kamis, 27 November 2014

KONDISI LINGKUNGAN SUNGAI MUSI DIKOTA PALEMBANG

Artikel Ilmiah Populer






Kota Palembang adalah ibu kota provinsi Sumatera Selatan. Palembang merupakan kota terbesar kedua di Sumatera setelahMedan. Kota Palembang memiliki luas wilayah 358,55 km²[4] yang dihuni 1,7 juta orang dengan kepadatan penduduk 4.800 per km². Kota ini akan diwacanakan akan menjadi ibukota Indonesia[5]. Diprediksikan pada tahun 2030 mendatang Kota ini akan dihuni 2,5 Juta orang.
Sejarah Palembang yang pernah menjadi ibu kota kerajaan bahari Buddha terbesar di Asia Tenggara pada saat itu, KerajaanSriwijaya, yang mendominasi Nusantara dan Semenanjung Malaya pada abad ke-9 juga membuat kota ini dikenal dengan julukan "Bumi Sriwijaya". Berdasarkan prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Bukit Siguntang sebelah barat Kota Palembang, yang menyatakan pembentukan sebuah wanua yang ditafsirkan sebagai kota pada tanggal 17 Juni 688 Masehi, menjadikan kota Palembang sebagai kota tertua di Indonesia. Di dunia Barat, kota Palembang juga dijuluki Venice of the East ("Venesia dari Timur").
Jika kita membicarakan kota palembang tentunya kita tidak akan asing dengan sungai yang terkenal disana yaitu sungai musi.

Sungai Musi adalah sebuah sungai yang terletak di provinsi Sumatera SelatanIndonesia. Dengan panjang 750 km, sungai ini merupakan yang terpanjang di pulau Sumatera dan membelah Kota Palembang menjadi dua bagian. Jembatan Ampera yang menjadi ikon Kota Palembang pun melintas di atas sungai ini. Sejak zaman Kerajaan Sriwijaya hingga sekarang, sungai ini terkenal sebagai sarana transportasi utama bagi masyarakat.



Namun sungai musi tak sebersih dahulunya, sungai musi yang merupakan kebanggan sumsel terutama bagi wong palembang saat sudah tercemar polusi. Kondisi ini berdasarkan hasil penelitian badan lingkungan hidup (BLH) Provinsi sumsel.Pencemaan tersebut disebabkan limbah industri dan limbah domestik. Di Palembang, dari 10 titik pemantauan, 9 titik tercemar berat dan 1 titik tercemar ringan. Pencemaran semakin tinggi di tengah perkotaan, seperti Jembatan Jalan Angkatan 45, Jembatan Sekip Tengah, dan Jembatan Jalan Ali Gatmir 13 Ilir.
Unsur pencemar tertinggi adalah senyawa fosfat yang terdapat dalam sabun dan detergen yang digunakan masyarakat. Pencemar organik tertinggi adalah bakteri E coli yang berasal dari kotoran manusia. Hal ini karena masih tingginya aktivitas mandi, cuci, dan kakus, serta membuang sampah ke Sungai Musi.
Pencemaran juga berasal dari sedimentasi akibat pembukaan lahan dan pertambangan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi. Akibatnya, air menjadi keruh oleh lumpur dan pasir.


    Berikut upaya menanggulangi pencemaran sungai :

1.Sadar akan kelangsungan ketersediaan air dengan tidak merusak atau            mengeksploitasi sumber mata air agar tidak tercemar.
2.Tidak membuang sampah ke sungai.
3.Mengurangi intensitas limbah rumah tangga.
4.Melakukan penyaringan limbah pabrik sehingga limbah yang nantinya bersatu dengan air sungai bukanlah limbah jahat perusak ekosistem.
5.Pembuatan sanitasi yang benar dan bersih agar sumber-sumber air bersih lainnya tidak tercemar.

Kamis, 20 November 2014

jawaban nomor 2 : berikan penjelasan kegiatan yang mengkontribusikan global warming

The biggest contributor to global warming is the generation and consumption of energy, followed by the CFC. CO2 emissions are estimated at 8490 million tonnes of carbon, ie 5.550 million tons of fossil fuel combustion (BBF) and 2.800 million tons of logging and forest fires. So 65.4% comes from burning BBF which mostly occurred in developed countries and 33.0% of the forest. United States alone has a 17% contribution to global CO2 emissions.
CFC is a man-made gases are widely used in industry for the manufacture of rubber and plastic foam, in the electronics industry, as the driving gas aerosol packaging, the engine cooling and freezer as well as in everyday life - the day to clean clothes. Similar gas is also used in fire extinguishers. Are the largest CFC consumption in developed countries and Eastern European countries, ie 84% of world consumption.

terjemahan
Penyumbang terbesar pada pemanasan global adalah pembangkitan dan konsumsi energi, disusul oleh CFC. Emisi CO2 diperkirakan sebesar 8.490 juta ton karbon, yaitu 5.550 juta ton dari pembakaran bahan bakar fosil (BBF) dan 2.800 juta ton dari penebangan dan pembakaran hutan. Jadi 65,4% berasal dari pembakaran BBF yang sebagian besar terjadi di Negara maju dan 33,0% dari hutan. Amerika Serikat saja mempunyai sumbangan 17% pada emisi CO2 sedunia.
CFC merupakan gas buatan manusia yang banyak digunakan dalam industri untuk pembuatan karet dan plastic busa, dalam industri elektronika, sebagai gas pendorong kemasan aerosol, dalam mesin pendinginan dan pembeku serta dalam kehidupan sehari – hari untuk membersihkan pakaian. Gas sejenis juga digunakan dalam alat pemadam kebakaran. Konsumsi CFC terbesar terdapat di Negara maju dan Negara Eropa Timur, yaitu 84% dari konsumsi sedunia.

jawaban nomor 3 :hubungan konvensihutan dengan pemanasan global

nitially I thought, forest fires are a major source of N2O, but the end - the end of the nylon industry is known to contribute at least 10% of the increase in atmospheric N2O. Nylon industry are mostly found in developed countries. Global warming is geobiokimia process. Therefore we can not review it in the short term, but must be seen in the long-term perspective. As has been described above, the forest is one of the important carbon deposition. Forest area before it can be as extensive agricultural era of native forests on earth. Carbon emissions from deforestation, burning and forest conversion are also still covered, by the uncertainty in the estimation of forest biommasa, the carbon content in many biommasa biamassa and some burning or membusuk.Seperti have is described in advance, the forest was not different-different forest homogen.Biomassa from one type to another type and biomass was influenced by climatic factors and also edatik.Demikian karbom content in the biomass of each type it.

terjemahan
semula kusangka, pembakaran hutan merupakan sumber utama N2O, tetapi akhir – akhir ini diketahui industri nylon memberikan sumbangan paling sedikit 10% dari kenaikan N2O dalam atmosfer. Industri nylon sebagian besar terdapat di Negara maju. Pemanasan global merupakan proses geobiokimia. Karena itu kita tidak dapat meninjaunya dalam jangka pendek, melainkan harus kita lihat dalam perspektif jangka panjang. Seperti telah diuraikan di muka, hutan merupakan salah satu endapan karbon yang penting. Luas hutan sebelum zaman pertanian dapatlah sebagai luas hutan asli di bumi. Emisi karbon dari penebangan, pembakaran dan konversi hutan juga masih di liputi oleh ketidakpastian dalam estimasi biommasa hutan,kandungan karbon dalam biamassa dan beberapa banyak biommasa yang terbakar atau membusuk.Seperti telah di uraikan di muka,hutan tidak lah homogen.Biomassa hutan berbeda-berbeda dari jenis satu ke jenis yang lain dan biomassa itu di pengaruhi oleh factor iklim dan edatik.Demikian pula kandungan karbom dalam biomassa masing-masing jenis itu

jawaban nomor 4 : dampak yang timbulnya air laut di sektor pertanian

The impact faced by farmers indoneseia posed by rising sea levels are fragile food security, then we become dependent on imported food. Farmers must be convinced that the farming practices need to be changed. With varieties, planting method, and certain irrigation systems, farmers can reduce GHG emissions either, methane (CH4), from the fields. The results of the study the influence of management practices in rice against CH4 emissions Jakenan, Central Java (Setyanto and Abubakar, 2006), showing the variety IR-64, Memberamo, and Way Apo Buru planted with moving can reduce CH4 emissions respectively 60 percent, 35 percent , and 38 percent over Cisadane varieties.

terjemahan
Adapun dampak yang dihadapi petani indoneseia yang ditimbulkan oleh naiknya air laut yaitu rapuhnya ketahanan pangan, lalu kita menjadi tergantung pada pangan impor. Petani harus diyakinkan bahwa praktik bercocok tanam perlu diubah. Dengan varietas, cara tanam, dan sistem pengairan tertentu, petani bisa mengurangi emisi salah satu GRK, gas metana (CH4), dari sawah. Hasil penelitian pengaruh cara pengelolaan padi terhadap emisi CH4 di Jakenan, Jawa Tengah (Setyanto dan Abubakar, 2006), menunjukkan varietas IR-64, Memberamo, dan Way Apo Buru yang ditanam dengan pindah bisa menekan emisi CH4 berturut-turut 60 persen, 35 persen, dan 38 persen dibanding varietas Cisadane.

jawaban nomor 5 : dampak kenaikan air laur bagi aktifitas sosial

Baḍhdō samudrī stara kāraṇa sāmājika prabhāva yahām̐ :

(Ēka) nēṭavarka ṭrāphika vyavadhāna
(bī) saḍaka, bandaragāha ra vimānasthalakō rūpamā pūrvādhāra ra suvidhā kō samārōha saṅga hastakṣēpa
samudāya basōbāsa garna (sī) avarōdha
(gha) kr̥ṣi bhūmi kō utpādakatva mā kamī
(ī ) kyānsara ra rōga kō jōkhima vr̥d'dhi
(phā) bhūmi khētī bhūmi hāni
(G ) taṭīya kṣētramā samārōha saṅga hastakṣēpa

terjemahan:
Berikut dampak sosial yang ditimbulkan oleh naiknya muka air laut:

(a) gangguan terhadap jaringan lalu lintas
(b) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara
(c) gangguan terhadap permukiman penduduk
(d) pengurangan produktivitas lahan pertanian
(e) peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit
(f) hilangnya lahan lahan budidaya

(g) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir

jawaban nomor 6 : dampak kenaikan air laut

Disruption to the socioeconomic conditions that occur are:

(a) disruption to the road network and railway traffic on the northern coast of Java and Sumatra South-East

(b) a puddle on the settlement population in the coastal cities that are in the region of the northern coast of Java, Sumatra East, South Kalimantan, Sulawesi Southwestern, and some coastal spots in Papua

(c) loss of lands such as paddy cultivation, brackish, fish ponds, and mangrove area of 3.4 million hectares, equivalent to US $ 11.307 million; The picture becomes even more 'opaque' when associated with the presence of food production centers are only about 4% of the total area of the national territory,

terjemahan :
Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah :

(a)  gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera

(b) genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada  wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua

(c) hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih ‘buram’ apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang  hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional.